Nabi Nuh adalah titik akhir dan titik
berangkat peradaban. Peradaban yang pernah dibangun sebelum Nuh lenyap
ditelan banjir bandang, dan manusia-manusia sesudah nuh memulai babak
baru dalam kehidupan. Muncul pertanyaan ideologis, apakah ketika banjir
bandang itu, manusia dan binatang darat yang tidak ikut perahu Nuh mati
digenang banjir, atau sebenarnya banjir itu hanya terjadi di daerah
tempat Nuh, dan di belahan bumi yang lain tetap ada kehidupan?
Jika seturut sejarah dalam Quran dan
Injil, seluruh binatang daratan dan manusia yang tidak ikut serta dalam
perahu Nuh tewas dihanyut banjir. dikisahkan Nuh memuatkan
sejodoh-sejodoh binatang ke dalam perahunya supaya mereka tidak punah
dari muka bumi, sebagaimana suku Maya lenyap dari benua
Amerika.Terlampau jauh kejadian masa silam itu, dan menjadi sulit
dilacak apa-apa yang terjadi sebenarnya. Tak sedikit yang meyakini
banjir bandang jaman Nuh itu linier dengan jaman es mencair.Tapi
baiklah, sebagian orang Malaysia percaya leluhur orang Melayu Malaysia
adalah keturunan dari salah satu anak atau pengikut Nuh, dan bukan dari
Yunan, China Selatan, yang takut perang, yang pecundang kemudian
mengungsi ke negeri Nusantara. Saya pun ingin setuju kalau orang di
Nusantara bukan keturunan dari Yunan, tapi asli keturunan anak atau
pengikut Nuh yang menyebar ke pelbagai pelosok begitu kapal Nuh sudah
mendarat, setelah banjir reda. Di mana mendaratnya? Orang Bugis tempo
dulu percaya banget kapal nuh mendarat di Bugis.Keturunan nabi Nuh yang
menetap di Nusantara itu, kemudian merantau ke pelbagai pulau yang masih
kosong (ada yang jadi orang Minang, Sunda, Jawa, Bali, Maluku, dan
lain-lainnya), dan jadilah mereka keluarga besar melayu Polinesia. salah
satu klan melayu Polinesia itu tiba di Salakanagara dan menetap di
sana, atau di daerah yang sekarang disebut dengan Banten. Sekira 150
tahun sebelum Yesus lahir, bangsa Salakanagara sudah membentuk komunitas
dan pemerintahan sederhana. Dalam pada itu di daerah India, sekira
tujuh abad sebelum Yesus, ada orang-orang yang tercerahkan dan berhasil
menangkap ilham dari Allah, dan ilhamnya itu diramu menjadi ajaran atau
agama Syiwa dan Wisnu (keduanya disebut Hindu), dan sekira 580 tahun
sebelum Yesus lahir, hiduplah seorang bernama Sidharta Gautama yang
mengajarkan agama Brahmana (Budha).
Lalu sekira 280 tahun sebelum masehi, hiduplah seorang bernama Asoka
yang memimpin kerajaan Asoka di India. Dia disebut dalam sejarah dunia
sebagai raja yang tercerahkan setelah sebelumnya melakukan peperangan
dan agresi. setelah tercerahkan, dia berpaling pada agama, menjadi
rahib, dan menitahkan para pengikut kepercayaannya untuk menyebarkan
Syiwa, Wisnu, dan Brahmana. salah seorang penyi’ar ajaran itu berasal
dari marga Warman, dan rombongan marga Warman ini sampailah ke
Salakanagara.
Di Salakanagara mereka berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan. sekira 100-an tahun setelah masehi, bangsa Salakanagara diperintah oleh Aki Tirem. Menurut Ayatrohaedi (kakaknya Ajip Rodisi), anak Aki Tirem yang bernama Pohaci Larasati, kemudian dinikahkan dengan salah satu dari kelompok marga Warman itu, yang bernama Dewawarman. Dialah yang kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok Salakanagara. Dewawarman kemudian mendirikan kerajaan yang lebih bercorak India, kerajaan itu diberi nama Salakanagara. Gelar yang disematkan kepada Dewawarman adalah Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII).
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Raja-raja Tarumanagara :Jayasingawarman (358-382) | Dharmayawarman (382-395) | Purnawarman (395-434) | Wisnuwarman (434-455) | Indrawarman (455-515) | Candrawarman (515-535) | Suryawarman (535-561) | Kertawarman (561-628) | Sudhawarman (628-639) |Hariwangsawarman (639-640) | Nagajayawarman (640-666) | Linggawarman (666-669)
Di Salakanagara mereka berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan. sekira 100-an tahun setelah masehi, bangsa Salakanagara diperintah oleh Aki Tirem. Menurut Ayatrohaedi (kakaknya Ajip Rodisi), anak Aki Tirem yang bernama Pohaci Larasati, kemudian dinikahkan dengan salah satu dari kelompok marga Warman itu, yang bernama Dewawarman. Dialah yang kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok Salakanagara. Dewawarman kemudian mendirikan kerajaan yang lebih bercorak India, kerajaan itu diberi nama Salakanagara. Gelar yang disematkan kepada Dewawarman adalah Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII).
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Raja-raja Tarumanagara :Jayasingawarman (358-382) | Dharmayawarman (382-395) | Purnawarman (395-434) | Wisnuwarman (434-455) | Indrawarman (455-515) | Candrawarman (515-535) | Suryawarman (535-561) | Kertawarman (561-628) | Sudhawarman (628-639) |Hariwangsawarman (639-640) | Nagajayawarman (640-666) | Linggawarman (666-669)
Kerajaan Tarumanagara pecah menjadi dua
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan
Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu
Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara
pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman
zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura.
Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan
Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri
Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk
memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.Dengan dukungan Kerajaan
Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya
wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena
putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri
Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari
perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M,
wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Jaman Pajajaran
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan roman raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”. (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.